Friday, July 23, 2010

Mewujudkan Media Yang Responsif Gender

Liliek Budiastuti Wiratmo[1]
     Sinetron Dunia Tanpa Koma (DTK) tayangan Sabtu, 18 Nopember 2006, menyajikan cerita upaya kelompok karyawan/wartawan memperjuangkan kesamaan hak antara wartawan (laki-laki) dan wartawati (perempuan) maupun karyawati dengan karyawan non jurnalis. Mereka mempertanyakan mengapa keluarga (anak-isteri) wartawan/karyawan (laki-laki) berhak memperoleh biaya pengobatan serta tunjangan yang lain, sementara keluarga (suami-anak) wartawati/karyawati tidak mempunyai hak untuk memperoleh tunjangan serupa. Artinya perempuan dihitung sebagai subjek tunggal, sementara beban kerja dan tanggung jawab pekerjaan mereka sama. Syukurlah upaya Raya, Seruni, Bayu, Markus, dan kawan-kawannya berhasil. Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya tuntutan mereka dipenuhi oleh Pak Rekso selaku Komisaris Majalah ‘Target’.
Cerita DTK tersebut layak kita hargai sebagai upaya media (pengelola) televisi untuk memasukkan perjuangan penguatan gender dalam sebuah sinetron. Di tengah belantara tontonan yang seragam, berisi perempuan sempurna secara ragawi, kekerasan, dan mistik, DTK membawa nuansa yang berbeda, memberi alternatif tontonan yang mencerahkan dari sisi kepentingan perempuan. Sesuatu yang sangat langka kita temukan dalam khasanah pertelevisian Indonesia saat ini. Meski diakui oleh para pegiatnya, bahwa membuat sesuatu yang berbeda  tentu penuh tantangan, mengingat hingga kini ‘ideologi rating’ menjadi keniscayaan dalam industri televisi. (Kompas, Minggu, 15 Oktober 2006)

Marjinalisasi perempuan bukan hanya dalam hal-hal yang bersifat hiburan, tetapi juga pada sajian faktual, baik itu berita (news) maupun opini (views). Pemberitaan perempuan korban perkosaan, tidak sekedar mengisahkan tentang perkosaan itu sendiri, namun juga memberikan stigma, cap bahwa yang mengundang untuk diperkosa adalah perempuan, karena berpakaian minim dan seksi. Seolah karena cara berbusana yang demikian, maka perempuan ‘sah’ untuk diperkosa. Bagaimana dengan kasus perkosaan terhadap nenek berusia 65 tahun?
Karya-karya jurnalistik semacam itu menunjukkan rendahnya pemahaman awak media  mengenai gender. Hal itu tidak jauh berbeda dengan realitas sehari-hari, dimana upaya membawa perempuan keluar dari konstruksi budaya bahwa pekerjaan perempuan  adalah sekitar kasur, dapur, dan sumur atau 3 M dalam istilah Jawa: Macak, Masak, Manak, dapat dikatakan berhasil bila ukurannya adalah perempuan tidak lagi berada di ruang domestik, namun mulai memasuki ruang-ruang publik. Sayangnya, apa yang kita temukan dalam kehidupan nyata keseharian maupun sajian berbagai media, meletakkan persoalan gender sebagai sebuah tempelan artifisial belaka.
Kita berharap, media massa yang mempunyai kemampuan menjangkau masyarakat yang luas dapat membawa pesan-pesan kesetaraan gender. Namun hingga kini harapan kita itu jauh di awang-awang, dikarenakan sifat kapitalistik industri media yang maskulin dan patriakhi. Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran betapa rumit dan peliknya industri media serta memformulasikan langkah-langkah strategis yang harus dilakukan untuk mewujudkan media yang responsif gender.
Industri media: mata rantai yang panjang dan rumit
Secara kasat mata, betapa mudahnya kita menikmati sebuah acara di televisi. Bisa sambil duduk atau tiduran, boleh juga disambi mengerjakan aktifitas lain, dan berkomentar. Namun sesungguhnya dalam proses pembuatannya tidaklah sesederhana itu. Untuk itu kita harus memahami pula rumitnya proses produksi program (isi) media.
Acara yang disajikan oleh media massa diperoleh dengan cara beragam. Ada acara-acara yang diproduksi sendiri (inhouse production), membeli dari pihak lain (akuisisi), atau kerjasama produksi. Untuk media cetak dan radio lebih banyak yang diproduksi sendiri. Namun untuk media televisi tidak demikian. Program news di televisi, lebih banyak diproduksi sendiri, namun untuk program yang lain, seperti talkshow, sinetron, musik dan sebagainya stasiun penyiaran biasanya lebih memilih membeli dari rumah produksi (production house) atau dari sumber lain. Disinilah persoalan bermula. Terjadi tarik menarik antara stasiun televisi dengan para pegiat dalam industri program siaran. Hingga saat ini ‘rating’ menjadi pertimbangan utama para pengelola stasiun TV untuk menentukan apakah sebuah program akan ditayangkan atau tidak, akan diperpanjang kontraknya atau tidak. Rumah-rumah produksi akan membuat program yang diperkirakan atau berdasarkan survei terbukti ratingnya tinggi.
Dalam sebuah diskusi terungkap, pemain sinetron atau pelakon memainkan peran sesuai tuntutan sutradara, sedangkan penulis skrip dan sutradara bekerja menuruti permintaan produser. Sementara produser akan mengikuti kemauan dari pengelola TV yang selalu mempertimbangan laporan yang diterima dari lembaga pembuat rating. Bila rating hanya 2, kecil kemungkinannya program dilanjutkan. Rating yang dilaporkan sekali seminggu, menjadi barometer kesuksesan sebuah program. Tak jarang proses produksi sebuah program menunggu laporan hasil rating. Inilah yang menjadikan sebuah program dikerjakan secara terburu-buru (kejar tayang). Sistem kejar tersebut merupakan salah satu contoh, bagaimana ketergesaan mendorong para pekerjanya (artis, sutradara, editor dan seterusnya) melakukan proses produksi secara cepat. Akibatnya mereka tidak mempunyai kesempatan mencermati kembali sinetron yang mereka buat. Sulit mengharapkan sebuah karya yang dibuat secara maraton dapat mempertimbangkan aspek kualitas, termasuk menyuarakan kesetaraan gender.
 Gambaran di atas sejalan dengan pernyataan Reese dan Shoemaker (1998)  dalam buku “Mediating The Message”. Mereka mengemukakan lima tataran yang mempengaruhi isi media, yaitu individual pekerja media (media workers), rutinitas media (media routine), organisasi, ekstra media dan ideologi.  
Tataran individual pekerja media mencakup karakteristik komunikator (pandangan gender, etnik, orientasi seks, latar belakang sosial, ekomoni, pendidikan) wartawan, latar belakang personal dan profesional; pengaruh-pengaruh
 




                          
                                                                                         
sikap personal, nilai dan keyakinan terhadap isi media; orientasi personal mengenai konsepsi peran komunikator. Hal itu tidak hanya membentuk sikap nilai para pekerja media, namun juga akan membentuk sikap jurnalis, pemahaman masalah etik dan profesional pekerja media.
   Pengaruh rutinitas media menyangkut bentuk-bentuk dan praktek terpola, rutin dan berulang yang digunakan pekerja media untuk melakukan pekerjaannya. Dalam tataran ini dikenal istilah ‘Gatekeeper’ yang diterapkan dalam pengambilan keputusan dalam kerja media. Rutinitas media bersumber pada proses produksi yang berada dalam organisasi media sebagai produsen, sumber-sumber berita (suplier). Berikutnya adalah level organisasi media, yang memiliki karakteristik birokratis dimana ada pembagian tanggung jawab, struktur otoritas dan senioritas. Seringkali organisasi media dikontrol oleh pemilik yang bukan orang media, atau memiliki usaha non media, yang akan berdampak pada isi media:
1.      Mengutamakan tujuan ekonomi, mendapatkan keuntungan dan hanya sebagian kecil yang bertujuan melayani publik;
2.      Ekonomi sebagai paksaan, merupakan pengaruh tidak langsung terhadap keputusan editorial. Organisasai media ingin menghasilkan uang, namun struktur organisasi berfungsi sebagai filter antara keinginan ekonomi dan rutinitas kerja pemberitaan;
3.      Ekonomi sebagai ketentuan, menempatkan motif keuntungan menjadi pertimbangan penting dalam upaya mendapat keuntungan yang besar.
4.      Logika ekonomi media. Hampir semua media massa memperoleh keuntungan dari “menjual” audiens kepada pengiklan, sehingga selalu menjadi pertimbangan apakah akan mengurangi halaman atau jam siar untuk iklan;
       Level keempat yang mempengaruhi isi media adalah pengaruh dari luar (ekstra media). Faktor eksternal organisasi media, yaitu a) sumber-sumber informasi, yang meliputi kedekatan sumber dengan jurnalis, kelompok-kelompok kepentingan. b) Pengiklan dan khalayak. Pengiklan merupakan sumber penghasilan media, karena menggunakan ruang dan waktu yang sangat mempengaruhi isi media. Di sisi lain, keinginan dan kebutuhan khalayak menjadi pertimbangan pengelola media karena media menjual khalayak untuk menarik pemasang iklan. c) Kontrol pemerintah, ditampilkan melalui undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuatnya. d) Persaingan pasar untuk memperebutkan khalayak. e) Kecanggihan dan kemampuan teknologi yang dimiliki setiap media akan mempengaruhi isi media menyangkut kecepatan, kualitas dan keakuratan data yang disajikan.
 Level paling luar yang mempengaruhi isi media adalah Ideologi. Shoemaker dan Reese mengutip pendapat Samuel Becker yang mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat referensi yang terintegrasi dan digunakan untuk melihat dunia serta dasar penyesuaian setiap tindakan. Mereka membahas bagaimana media mempropagandakan ideologi dan bagaimana kekuatan ideologi mempengaruhi. Tulisan Shoemaker dan Reese menempatkan ideologi dalam konteks AS, yang mendasarkan pada nilai sistem ekonomi kapitalis, kepemilikan pribadi, mencari keuntungan dengan usaha pribadi dan pasar bebas.

Posisi Perempuan dalam Industri Media
Peran perempuan dalam menyuarakan kepentingan perempuan belum tampak nyata dalam industri media. Hal ini tampak dari temuan Marjuni Rangkuti, dkk dalam penelitian mengenai “Pelibatan Wanita Dalam Organisasi Media Cetak Di Sumatera Utara”. Penelitian yang dilakukan terhadap 44 buah media cetak di Sumatera Utara, yang meliputi 13 buah surat kabar harian, 16 mingguan, 12 buah tabloid, dan tiga buah majalah tersebut menunjukkan wartawan laki-laki sebanyak 716 orang, sedangkan wartawan wanita 116 orang. Perbandingannya adalah sekitar 6 : 1, dalam arti 6 wartawan laki-laki banding 1 orang wartawan wanita. 
Lihat pula catatan Omi Intan Naomi (1997), pada tahun 1994 wartawati anggota PWI sebesar 8,6 %, sedangan pria 91,6 %. Pada tahun 1998 (Debra Yatim, 1998) catatan PWI menunjukkan ada sekitar 4.687 jurnalis laki-laki, dan hanya 461 perempuan. Data tersebut baru menunjukkan ketimpangan dari sisi kuantitas, belum lagi bila dikaji  berapa banyak perempuan yang menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan, yang tentu jumlah juga akan jauh lebih kecil. Sehingga sangat masuk akal bila isi media saat ini lebih merupakan konstruksi laki-laki. Ketimpangan dari sisi kuantitas ini sudah barang tentu sangat berpengaruh bagi lambannya pertumbuhan media yang memiliki kepekaan gender.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita dapat mendorong lahirnya jurnalis dan media yang memiliki sensitifitas gender? Langkah-langkah yang harus dilakukan agar media yang ada semakin menyuarakan ketimpangan gender dalam ranah sosial kita?                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita harus memahami apa yang dimaksud dengan pemberitaan atau tulisan yang berperspektif gender. Kamla Basin (Nur Iman Subono, 2003) mengatakan, pemberitaan atau tulisan yang berperspektif gender harus memperhatikan : a. bentuk ketidakadilan gender (bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotipe atau label negatif terhadap kaum perempuan, beban kerja dan kekerasan serta sosialisasi keyakinan gender yang semakinmemojokkan perempuan. Semuanya saling berkait dan menguatkan yang kemudian dilestarikan oleh ideologi dan budaya patriakhi. b) tempat dimana ketidakadilan gender tersebut terjadi (yang bisa dipantau dari dari setiap tingkatan yakni mulai dari tingkat negara dan masyarakat hingga ke budaya dan keyakinan, tempat kerja, rumah tangga dan keyakinan pribadi.
Langkah Strategis
      Untuk mencapai tujuan yang diharapkan perlu dilakukan langkah-langkah strategis, sebab membongkar kontruksi sosial tentang gender memerlukan perjuangan dari segala lini. Begitu pun bila kita ingin mewujudkan media yang responsif gender. Langkah-langkah tersebut adalah: Pertama, menjalin kerjasama dengan pengelola media penentu kebijakan yang telah memiliki sensitifitas gender serta menularkan ‘virus’ gender kepada pengelola media yang lain. Tidak cukup hanya memberikan pemahaman tentang persoalan gender kepada para pekerja media pada level bawah, karena keputusan akhir ada pada pimpinan redaksi. Kedua, melibatkan para pengambil keputusan dalam industri media agar sajian mereka lebih memperhatikan persoalan-persoalan gender. Ketiga, menjalin kerjasama serta memperbanyak kampanye tentang gender kepada para pengambil kebijakan dalam industri hulu yang membuat program siaran (production house), maupun biro iklan; Keempat, melaksanakan pelatihan jurnalisme berperspektif gender kepada pengelola/pengambil keputusan maupun jurnalis lapangan agar mereka memahami dan memiliki sensitifitas gender, serta responsif terhadap persoalan-persoalan gender; Kelima, menjalin kerjasama dengan orang-orang atau lembaga yang memiliki kepedulian terhadap kesetaraan gender. Keenam, yang tak kalah penting adalah melakukan riset nasional untuk memetakan keberadaan wartawan maupun pemahaman tentang gender serta keterlibatannya dalam pengambilan keputusan manajemen media, dikalangan jurnalis lapangan maupun di tingkat manajer.
       Semua langkah itu dilakukan bukan hanya dengan perempuan yang terlibat dalan industri media, namun juga laki-laki, seperti tokoh Bayu yang dicela oleh Soni sebagai feminis laki-laki.
__________

Bahan Bacaan
       
Debra A. Yatim (1998),   Perempuan dan Media Massa,  Oleh Pria untuk Priakah?, Dalam dalam   Idi Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto (Ed), Wanita dan Media, Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Marjuni Rangkuti, Hj. Pujiati, H. Nasrah Parlindungan Lubis, tt, Pelibatan Wanita Dalam Organisasi Media Cetak Di Sumatera Utara, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan
Noor Iman Subono (2003), Menuju Jurnalistik yang Berperspektif Gender dalam       Jurnal Perempuan No 28 (2003), Perempuan dan Media.
Omi Intan Naomi, 2003, Wartawati, Herstory, dalam Dr. Irwan Abdullah (ed), Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pusat penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Shoemaker, Pamela J., Stephen D. Reese (1996),  Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content”, Longman Publishers USA,
Zoonen, Liesbet Van, Feminist Media Studies, (1999), London : Sage Publication


[1]  Koordinator Bidang Pemantauan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah Periode I, dan Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

0 comments:

Post a Comment