Saturday, December 4, 2010

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM MAJALAH WANITA

Abstract: :
         
The existence of women’s magazine expected as medium to give new spirit through article presentation that empower woman position on public domain. However, the reality is reversed. Those presentation and ideas contain tend to establish women’s magazine as lifestyle shaper and place woman as market for a variety of product. Keywords: artificial beauty, consumptive, and active-creative.

A. PENDAHULUAN
Meningkatnya kesadaran manusia untuk memperoleh informasi mendorong berkembangnya industri media, baik media cetak maupun media penyiaran (elektronik). Media cetak berkembang lebih pesat yang menuju pada khalayak khusus. Saat ini dengan mudah kita menemukan media yang diperuntukkan bagi perempuan–remaja maupun wanita matang, baik berbentuk tabloid dengan harga yang relatif murah, maupun majalah dengan tampilan “lux” yang harganya tidak bisa dibilang murah. Kondisi ini tentu saja memberi indikasi besarnya relung pasar yang masih tersedia. Semakin banyak pula majalah dari “luar” yang diterbitkan dalam edisi Indonesia, seperti majalah “HerWorld”. Perkembangan ini tentu saja dikarenakan ibu rumah tangga memainkan peran yang vital dalam perubahan gaya hidup keluarga, demikian kata Andre Harjana.1)


Tulisan ini juga sudah dimuat di JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK "YIN YANG"

Liliek :"Silahkan baca selengkapnya"

Friday, July 23, 2010

Komunikasi Orang Tua Dengan AnakMembentuk Kebiasaan Anak Menonton Televisi

Liliek Budiastuti Wiratmo 
ABSTRAKSI 
Komunikasi Orang Tua Dengan Anak Membentuk Kebiasaan Anak Menonton Televisi

Saat ini masyarakat benar-benar mendapat layanan yang sangat istimewa dari stasiun televisi. Baik informasi maupun hiburan datang siang malam seiring dengan kian bertambahnya stasiun TV swasta yang beroperasi. Semua TV swasta tersebut berusaha menarik penonton sebanyak-banyaknya dan dapat menempati “rating” tinggi, yang berarti mengalirnya dana melalui iklan sebagai penopang hidupnya. Untuk memenangkan rating kadang-kadang mereka tidak mempertimbangkan kualitas acara, bahkan untuk anak-anak sekaligus. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi orang tua untuk mengkompromikan dengan anak-anak bagaimana sebaiknya menentukan acara yang akan di tonton dan tidak di tonton 

Mewujudkan Media Yang Responsif Gender

Liliek Budiastuti Wiratmo[1]
     Sinetron Dunia Tanpa Koma (DTK) tayangan Sabtu, 18 Nopember 2006, menyajikan cerita upaya kelompok karyawan/wartawan memperjuangkan kesamaan hak antara wartawan (laki-laki) dan wartawati (perempuan) maupun karyawati dengan karyawan non jurnalis. Mereka mempertanyakan mengapa keluarga (anak-isteri) wartawan/karyawan (laki-laki) berhak memperoleh biaya pengobatan serta tunjangan yang lain, sementara keluarga (suami-anak) wartawati/karyawati tidak mempunyai hak untuk memperoleh tunjangan serupa. Artinya perempuan dihitung sebagai subjek tunggal, sementara beban kerja dan tanggung jawab pekerjaan mereka sama. Syukurlah upaya Raya, Seruni, Bayu, Markus, dan kawan-kawannya berhasil. Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya tuntutan mereka dipenuhi oleh Pak Rekso selaku Komisaris Majalah ‘Target’.
Cerita DTK tersebut layak kita hargai sebagai upaya media (pengelola) televisi untuk memasukkan perjuangan penguatan gender dalam sebuah sinetron.

Thursday, July 22, 2010

Pertarungan Frame Media

PERTARUNGAN FRAME
ISU KENAIKAN HARGA BBM, TARIF DASAR LISTRIK DAN TELEPON


ABSTRACT

The media coverage on the people’s rejection of the government’s decision in raising the oil fuel, electricity and telephone tariff 2003 is interesting to be discussed. This is connected with the potential emergence of various interests in a certain mass media.
The purpose of this research is to find out some frames and their development that appear in the Suara Merdeka Daily and the Wawasan Daily. In order to observe the media frame, the writer refers to the “Media Package” approach as established by Gamson and Modigliani.
This research finds out three frames connected with the issue of the increasing price of oil fuel, telephone and electricity appearing in both Suara Merdeka Daily and the Wawasan Daily, that is, the justice frame, the suffering people frame, and the frame of the ignorance government toward the people. In addition, this research also validates that each frame is not instantly formed, but through a long term process it grows, continues to exist, and even may triumph over, or be defeated by, other frames.

Friday, June 25, 2010

Manajemen Redaksional Dan Kode Etik Jurnalistik

                                                            Liliek Budiastuti Wiratmo 

A. Pendahuluan*)
       Industri media merupakan bidang usaha yang berbeda dengan bidang-bidang lain. Hal ini karena industri media bukan ‘sekedar’ lembaga ekonomi, tetapi juga lembaga sosial yang  memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat dimana media tersebut hidup dan berkembang. Sistem kerjanya yang selalu dikejar ‘deadline’ membuat pekerja media yang biasa disebut jurnalis selalu berpacu dengan waktu, agar apa yang disajikan suatu media lebih hangat, lebih aktual dibanding media yang lain.. Di sisi lain, karena jurnalis (wartawan) merupakan suatu profesi, maka muncul tuntutan untuk mematuhi kode etik jurnalistik. Memadukan dua kepentingan yang berbeda, antara kepentingan profit dan etik menjadi salah satu bagian penting dalam pengelolaan media. Disinilah dituntut pengelolaan (manajemen) redaksi yang baik pula agar media tersebut memiliki ‘roh’,  jiwa yang akan memperkuat keberadaannya

Tuesday, June 8, 2010

Fenomena Majalah Wanita


Liliek Budiastuti Wiratmo[2]
Ringkasan
Semakin meningkatnya media cetak yang sasaran pembacanya perempuan mestinya disambut dengan gembira, karena diharapkan media tersebut akan dapat mengungkap dan menyelesaikan persoalan perempuan. Persoalan-persoalan tersebut bukan hanya masalah menyangkut masalah-masalah domestik, namun sesungguhnya meliputi prosoalan politik, ekonomi, dan sebagainya. Namun realtas yang ada saat ini, majalah wanita tersebut lebih mengedepankan persoalan domestik yang mestinya harus diimbangi dengan persoalan publik. Tulisan ini mengungkap majalah wanita seperti apa yang dapat mencersakan

Membangun Industri Penyiaran di Indonesia

Liliek Budiastuti Wiratmo
                                               Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang
        Industri penyiaran yang padat modal menuntut kreatifitas dan ketajaman membaca peluang untuk memenangkan persaingan antar lembaga penyiaran. Persaingan itu kadang-kadang memaksa lembaga penyiaran mengambil sikap yang merugikan kepentingan publik sebagai audiens, seperti informasi yang tidak akurat, sajian yang tidak mendidik atau justru yang mendorong khalayak berpikir instan, dan sebagainya.
       Disisi lain, lembaga penyiaran menggunakan frekuensi-gelombang elektro magnetik-milik publik yang sifatnya terbatas. Frekuensi bukanlah milik pribadi yang dapat diwariskan turun temurun atau komoditas yang dapat diperdagangkan secara bebas. Oleh karenanya pula penggunaan frekuensi tersebut harus dipertanggungjawaban terhadap publik.

Mencermati Kebiasaan Anak-Anak Menonton Televisi

Liliek Budiastuti Wiratmo[1]
PENDAHULUAN
Sampai dipenghujung tahun 80-an kita masih harus madep mantep nonton TVRI, kita belum membayangkan suatu ketika masyarakat Indonesia akan dimanjakan dengan tayangan acara dari berbagai stasiun televisi swasta. Tentu saja waktu itu mustahil kita membayangkannya, karena sulitnya membuka keran kebebasan. Dengan berbagai dalih pemerintah sulit memberikan ijin bagi berkembangnya stasiun TV swasta. Dan akhirnya kesempatan terbuka juga dengan lahirnya pelopor era TV swasta yang di motori oleh RCTI pada tahun 1988. tak sampai sepuluh tahun kemudian kita bisa memilih acara yang disukai dari 6 stasiun penyiaran (termasuk TVRI) yang terus berlomba menarik perhatian dengan menayangkan beragam acara.

Sunday, June 6, 2010

Kekerasan di Media Dan Peran Serta Masyarakat

(Sebuah Upaya Preventif) [1]
Liliek Budiastuti Wiratmo[2]

        Ketika terjadi kasus bunuh diri yang dilakukan anak-anak, media massa dinilai  memberi kontribusi  dalam “pembelajaran” melakukan bunuh diri tersebut.  Menurut Dr. Seto Mulyadi tindakan nekat ini di satu sisi terinspirasi dari media massa. Khususnya media elektronik yang akhir-akhir ini banyak menayangkan adegan-adegan vulgar dan penuh kekerasan. (Wawasan, 16/5).
       Pada Agustus 1999 jumlah media cetak sebanyak 1.536 (Mursito, 2000), dan pada akhir September tahun yang sama menjadi lebih dari 1800 media cetak (Sinansari Ecip: 2000). Hingga kini diperkirakan jumlahnya terus bertambah. Sementara saat ini terdapat 10 stasiun televisi swasta yang mengudara secara nasional dan menurut tabloid ‘Kontan’ tanggal 30 Mei 2005  terdapat sekitar 65 stasiun televisi lokal. Di Jawa Tengah saja terdapat lebih dari 200 radio siaran swasta dan 9 televisi lokal.

Monday, February 15, 2010

Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang


Sekolah Tinggi Ilmu komunikasi (STIKOM) Semarang, adalah perguruan tinggi penyelenggara program studi ilmu komunikasi pertama di Jawa Tengah, dengan akreditasi "B" sesuai SK BAN-PT No. 011/BAN-PT/Ak-X/VI/2008. Dalam perjalanan sejak bernama Akademi Publisitik Pangeran Diponegoro (APPD), kemudian meningkatkan jenjang ke program S1 menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIK) Semarang, hingga  sekarang bernama STIKOM Semarang, mengalami pergulatan dengan berbagai perubahan tentang aturan perguruan tinggi serta perubahan kiblat pilihan bidang studi calon mahasiswa. Kenyataan bahwa hingga saat ini masih tetap eksis dan konsisten dalam menyelenggarakan program studi komunikasi, membuktikan bahwa STIKOM merupakan perguruan tinggi handal karena ditunjang pola manajemen perguruan tinggi yang tanggap pada perubahan jaman.