PERTARUNGAN FRAME
ISU KENAIKAN HARGA BBM, TARIF DASAR LISTRIK DAN TELEPON
ABSTRACT
The media coverage on the people’s rejection of the government’s decision in raising the oil fuel, electricity and telephone tariff 2003 is interesting to be discussed. This is connected with the potential emergence of various interests in a certain mass media.
The purpose of this research is to find out some frames and their development that appear in the Suara Merdeka Daily and the Wawasan Daily. In order to observe the media frame, the writer refers to the “Media Package” approach as established by Gamson and Modigliani.
This research finds out three frames connected with the issue of the increasing price of oil fuel, telephone and electricity appearing in both Suara Merdeka Daily and the Wawasan Daily, that is, the justice frame, the suffering people frame, and the frame of the ignorance government toward the people. In addition, this research also validates that each frame is not instantly formed, but through a long term process it grows, continues to exist, and even may triumph over, or be defeated by, other frames.
Key words: increasing price, justice, suffering the people, the ignorance government toward the people, the frame fighting
ABSTRAK
Pemberitaan media massa mengenai penolakan masyarakat terhadap keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, Tarif Dasar Listrik dan telepon awal tahun 2003 yang lalu menarik untuk dikaji. Hal ini terkait dengan kemungkinan munculnya frame berbagai kepentingan pada suatu media.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frame-frame yang terdapat pada Harian “Suara Merdeka” dan Harian Sore “Wawasan” serta bagaimana perkembangan frame-frame tersebut. Untuk mengetahui frame media penulis mengacu pada “Media Package” approach yang dikembangkan oleh Gamson dan Modigliani (Reese, 2001)
Temuan penelitian menunjukkan ada tiga (3) frame seputar isu kenaikan harga BBM, TDL dan telepon, baik pada harian Suara Merdeka maupun Wawasan, yaitu frame keadilan, menyengsarakan rakyat dan pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Selain itu penelitian ini juga menemukan bahwa frame tidak terbentuk seketika, melainkan melalui proses panjang yang akan menentukan apakah frame dapat tumbuh, bertahan bahkan menaklukkan atau dikalahkan frame yang lain.
Kata kunci: kenaikan harga, keadilan, menyengsarakan rakyat, pemerintah tidak
berpihak pada rakyat, pertarungan frame
PENDAHULUAN
Setiap kali ada rencana pemerintah menaikkan harga BBM, Tarif Dasar Listrik Atau Telepon selalu muncul penolakan dari berbagai kalangan. Di satu sisi dapat dipahami maksud baik pemerintah menaikkan (dari sudut pandang masyarakat awam) adalah mengurangi subsidi (sudut pandang pemerintah) harga BBM. Pemerintah melihat pemberian subsidi BBM selama ini justru menunjukkan ketidakadilan, karena yang menikmati subsidi tersebut orang-orang yang sebetulnya tidak memerlukan subsidi. Sebaliknya menurut pendapat masyarakat pencabutan atau pengurangan subsidi BBM akan menyebabkan rakyat sengsara, karena efek domino (efek berantai) yang ditimbulkannya. Kenaikan tarif utamanya BBM membawa rentetan panjang kenaikan kebutuhan hidup, karena semua komoditas diangkut dengan transportasi yang memerlukan BBM.
. Isu tersebut kemudian menjadi komoditas politik yang memiliki nilai jual tinggi. Setiap elemen masyarakat ingin mengeluarkan pendapatnya, yang kemudian diberitakan oleh media dengan tujuan memenuhi tuntutan objektifitas dan “cover both side” (memberitakan dari dua sisi yang berbeda kepentingan-pen). Media berusaha untuk menangkap opini dari berbagai pihak sebagai frame bagi kelompok-kelompok tertentu yang diwakilinya.
Realitas tersebut sangat menarik bagi media massa, dan memacu mereka untuk menyajikan sesuatu yang lebih menarik, lebih lengkap, lebih mendalam dan lebih beragam. Namun masalahnya setiap media memiliki sudut pandang dan kebijakan sendiri ketika harus memutuskan realitas mana yang akan ditampilkan lebih menonjol dibanding yang lain, serta memindahkan realitas empirik menjadi realitas media. Peristiwa yang sama diberitakan dengan cara yang berbeda antara media yang satu dengan yang lain. Salah satu yang nampak adalah pemberian perhatian yang besar (dalam bentuk atau waktu yang lebih banyak, hal-hal yang besar, terkemuka dan sebagainya) terhadap kejadian-kejadian, orang-orang, kelompok-kelompok, dan tempat-tempat tertentu (Shoemaker dan Reese, 1996:36-38)
Dengan peran aktif ini sesungguhnya media terlibat dalam suatu “pertarungan” antar berbagai frame yang ada di sekitarnya. Ia menjadi tempat bertemunya berbagai frame dan menunjukkan frame siapa yang muncul di media. Hasil pertarungan itu akan menunjukkan frame siapa dan frame apa yang kemudian digunakan oleh media. Apakah frame yang berasal dari kelompok tertentu dan frame yang dibuat oleh kelompok tersebut atau media membentuk framenya sendiri, serta dapat diketahui bagaimana perkembangan frame-frame tersebut dalam media. Karena kemampuan serta tekanan dari lingkungan sebagaimana dikemukakan Shoemaker dan Reese (1996), media mempunyai peluang untuk menjadi tempat bertemunya berbagai frame yang ada disekitarnya serta memutuskan frame-frame apa dan frame-frame siapa yang akan digunakannya untuk merangka suatu peristiwa menjadi berita, serta bagaimana perkembangan frame-frame tersebut seiring dengan wacana yang beredar.
METODE
Penentuan objek penelitian mengacu pada klasifikasi media yang dibuat oleh Daniel Dhakidae, yang dikutip Ana Nadhya Abrar (Idi Subandi Ibrahim, Hanif Suranto,1998_ 167-168). “Suara Merdeka” dipilih karena termasuk dalam kategori “high quality newspaper and high busines performance” yang establish dan menguasai pasar Jawa Tengah. Sedangkan Harian Sore “Wawasan” dipilih karena termasuk dalam kategori surat kabar yang “high quality newspaper and low business performance“. Hal itu dilakukan dengan pemikiran frame kelompok kepentingan maupun frame pemerintah dapat muncul di berbagai media, sehingga kedua surat kabar tersebut diasumsikan tidak mewakili kelompok manapun, sehingga dapat menyajikan ber-
macam frame. Karakteristik tersebut menentukan penggunaan berbagai frame yang dikon-
struksi dalam kedua media.
Dalam penelitian ini penulis mempergunakan dua sumber data, yaitu : 1) dokumen dan arsip atau sumber tertulis (Sutopo, 2002; Moleong, 2001) meliputi berita mengenai isu kenaikan harga BBM, TDL dan Telepon pada Surat kabar “Suara Merdeka” dan Harian Sore “Wawasan” yang terbit mulai tanggal 2 Januari 2003 (tanggal berlakunya kenaikan harga BBM, TDL dan Telepon) hingga 21 Januari 2003 (direvisinya keputusan pemerintah tentang kenaikan harga BBM dan TDL menyusul pembatalan tarif telepon yang lebih dulu dilakukan). 2) narasumber (informan) yang meliputi Ketua Umum Organda Jawa Tengah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Propinsi Jawa Tengah, Wakil Pemimpin Redaksi harian Suara Merdeka, Redaktur Pelaksana Harian Sore “Wawasan”.
Untuk menganalisis data digunakan “Media Package” approach yang dikemukakan oleh Gamson dan Modigliani (Reese, 2001; Gamson dan Lyn. M. Zoch, 2001(Eriyanto, 2002) Perangkat media package yang dikembangkan oleh Gamson dan Modigliani adalah: “framing devices” (perangkat framing) yang terdiri dari metaphore, catcphrases, depiction, exemplars dan visual images (Lyn M. Zoch, dalam Reese et all, 2001: 199) dan “reasoning devices” (perangkat penalaran) yang terdiri dari: core frame, core position, roots, appeals to principle, dan consequences (Eric S. Fredin, dalam Reese et.all, 2001: 279-282; Gamson and Lasch, 1983; Alex Sobur, 2001: 179; Menayang et. ll, 2002).
Frame devices berkaitan dengan bentuk dan pola-pola pengorganisasian nature (lingkungan) budaya politik yang berkaitan langsung dengan ide sentral teks media. Sedangkan reasoning devices berhubungan dengan alasan dan pendukung frame. Setiap package ditandai seperangkat elemen yang menunjukkan core frame dan core position dalam bentuk penjelasan singkat perangkat pembenar atau penalaran (reasoning devices).
HASIL PENELITIAN
Dari hasil pengumpulan data ditemukan ada tiga frame yang muncul, baik pada harian Suara Merdeka maupun Wawasan. Ketiga frame tersebut adalah frame keadilan, menyengsarakan rakyat dan pemerintah tidak berpihak pada rakyat.
a. Frame Keadilan
Keadilan merupakan kata kunci yang digunakan ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon. Pemerintah “berlindung” di balik kata keadilan dengan mengatakan selama ini subsidi BBM justru dinikmati golongan menengah ke atas yang naik mobil mercy. Frame keadilan digunakan oleh pemerintah yang disampaikan melalui pejabat yang berkompeten, seperti Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Menko Kesra Yusuf Kalla, Wapres Hamzah Haz.
b. Frame Menyengsarakan Rakyat
Disisi lain masyarakat melihat keputusan pemerintah itu justru menampakkan ketidakadilan yang justru menyengsarakan rakyat. Rakyat melihat “kebaikan hati’ pemerintah kepada pengusaha melalui program Rest and Disharge, tetapi malah memberatkan rakyat, sebab pengalaman selama ini setiap kali ada kenaikan BBM akan mendorong naiknya harga kebutuhan lain. Kenaikan harga BBM, TDL dan telepon akan menaikkan tarif angkutan (baik barang maupun jasa), menambah biaya produksi yang muaranya adalah kenaikan harga yang harus ditanggung masyarakat. Frame menyengsarakan rakyat muncul dari kondisi riil masyarakat yang masih dalam kesulitan dilanda krisis, pengangguran, PHK dan sebagainya.
c. Frame Pemerintah Tidak Berpihak pada Rakyat
Sedangkan frame yang ketiga, Pemerintah tidak peduli pada rakyat yang didukung dengan reasoning devices dan frame devices (lihat matriks). Rakyat merasa pemerintah tidak berada di pihak rakyat yang perlu mendapat perhatian, terlebih ketika pemerintah tetap pada keputusannya walaupun demonstrasi terus bertambah jumlah dan luas wilayahnya.
Frame-frame yang muncul dalam kedua surat kabar tersebut merupakan akumulasi frame berbagai kelompok kepentingan (interest group). Frame partai politik, pengusaha, buruh dan sebagainya terakumulasi dalam ketiga frame di atas. diantaranya frame Meski demikian frame Organda (organisasi angkutan darat) dan HNSI (Himpunan Nelayan seluruh Indonesia) paling menonjol, karena kelompok kepentingan ini terkena langsung dampak kenaikan harga BBM yang akan memicu kenaikan harga barang lain, selain itu aksi kelompok ini mengganggu mobilitas dan pemenuhan kebutuhan makanan laut.
Alasan mengapa Suara Merdeka menyajikan ketiga frame (dari pemerintah dan masyarakat atau kelompok kepentingan) di atas adalah karena surat kabar itu menempatkan dirinya sebagai ‘wadah pertemuan’ berbagai pihak dan menjadi penengah dalam ‘pertikaian’ itu. Seperti yang disampaikan Wakil Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, Sasongko Tedjo, diperkuat dengan tajuk rencana yang melihat pentingnya keputusan pemerintah itu dilakukan untuk kepentingan jangka panjang. Pemerintah tidak mungkin terus menerus memberi subsidi, namun demikian Suara Merdeka juga tidak menutup mata, ketika terjadi perkembangan lain di lapangan, tajuk yang ditulis juga mengikuti dinamika tersebut.
Sedangkan pandangan Redaktur Pelaksana Wawasan (Gunoto Saparie), kebijakan pemerintah itu sebagai keputusan yang tidak tepat, karena kondisi masyarakat yang belum siap menghadapi kenaikan tersebut. Sikap ini juga diperkuat dengan opini redaksi dalam tajuk yang intinya adalah berusaha menyajikan informasi dari berbagai sisi.
Ada satu persamaan pandangan antara kedua media ini, adalah perlunya menyampaikan kondisi tersebut kepada masyarakat agar mengerti tujuan pemerintah menarik subsidi, dan kepada pemerintah bertujuan menyampaikan realitas dalam masyarakat. Perbedaan keduanya adalah Suara Merdeka berusaha menjaga posisinya sebagai moderator / penengah dalam pertarungan antara pemerintah dengan kelompok-kelompok kepentingan, sedangkan Wawasan cenderung lebih memihak pada kelompok-kelompok kepentingan. Sebagai gambaran meski keduanya menggunakan terminologi ‘bom waktu’, namun dari sudut pandang yang berbeda. Suara Merdeka menggunakan terminologi itu untuk menunjukkan ‘bila pemerintah menunda kenaikan keputusan menaikkan harga BBM, TDL dan telepon bukan tanpa resiko. Bisa jadi lebih berat karena sesungguhnya kita menyimpan bom waktu. Misalnya soal kenaikan harga BBM, dapatlah kiranya dijelaskan itu sangat berhubungan dengan alokasi dana anggaran untuk pemberian subsidi (tajuk rencana 6/1). Sebaliknya Wawasan menggunakannya dalam judul berita
tanggal 2 Januari 2004 ‘Kenaikan harga BBM, bom waktu’ yang menilai efek keputusan itu
rakyat tidak sekedar menuntut reformasi lagi, tetapi revolusi.
PEMBAHASAN
1. Frame: kuasa pengelola media
Terungkapnya tiga frame yang ada di media menunjukkan bagaimana frame berbagai kalangan bisa sekaligus masuk dalam media yang sama. Dari kenyataan ini membuktikan pernyataan Gamson (Durham, 1998) bahwa frame media terbentuk karena pengaruh interaksi antara norma dan kebiasaan jurnalis dengan kelompok kepentingan.
Dalam pemberitaan isu kenaikan harga BBM, TDL dan telepon kepentingan interest group yang banyak terungkap di media adalah Organda dan HNSI, serta kelompok luas yang suaranya lebih banyak digaungkan oleh kalangan mahasiswa. Penelitian yang dilakukan Triputra (Dedy N. Hidayat dkk, 2000:413) menunjukkan dari 190 berita yang dinalisis, topik pemberitaan yang banyak dimuat adalah krisi politik (31,7 %) dan 22,6 % gerakan mahasiswa. Aksi-aksi demo mahasiswa selalu memberikan nuansa yang khas di tengah-tengah wacana para elite politik. Tentang hal ini Gunoto Saparie mengatakan: “... karena mahasiswa itu memang suatu kelompok masyarakat yang paling peka terhadap problem masyarakat, dan mereka tidak terbebani.”
Terbentuknya berbagai frame tentu tidak lepas dari peran jurnalis yang ada dibalik produksi berita. Dalam pemberitaan yang memunculkan tiga frame tersebut adalah upaya media untuk mengungkap realitas yang ada dalam masyarakat, meski sesungguhnya realitas yang ditangkap khalayak di media massa merupakan realitas tangan kedua – second hand reality (Rakhmat, 2001: 224) yaitu realitas yang yang sudah diseleksi. Surat kabar –melalui proses yang disebut “gatekeeping’ – menapis berbagai berita dan memuat berita. David Manning White (Nimmo, 1999: 216) berkata : “...berita bukanlah apa yang disepakati oleh seluruh wartawan, melainkan apa yang disiarkan oleh pemegang fungsi utama dalam pers, yakni ‘penjaga gawang’ seperti reporter yang berpengaruh, editor berita dan editor kawatSebagaimana yang juga dikatakan oleh Gans (1980:89) : Peran orang dalam organisasi berita dapat dilihat dari berbagai sisi, karena secara informal organisasi dipisahkan antara wartawan (sebagai reporter) yang menilai suatu berita dari perspektif sumber, serta produsen puncak dan para editor yang melihatnya dari sudut pandang khalayak. Dalam proses itu media merangka (framing), yang oleh Entman (Griffin, 2000: 367) merupakan proses memilih (menyeleksi) berbagai kenyataan yang ada dan membuatnya lebih menyolok (saliant) dalam teks, sebagai cara mempromosikan isu tertentu, menginterpretasikan penyebab, membuat penilaian moral dan/atau merekomendasikan jalan keluar tertentu. Sedangkan Gamson (1998) menggambarkan fungsi frame adalah menjawab pertanyaan, 'apa’ yang menjadi sumber utama kontroversi atau perhatian sumber mengenai isu tertentu.
Gamson(1995) menyatakan ketika resonansi menggunakan popular wisdom secara luas atas suatu isu, maka resonansi yang sama digunakan oleh media untuk merangka isu, karena mudah untuk membuat koneksi antara rangka dengan popular wisdom. Jika popular wisdom yang sama kemudian bisa dihubungkan dengan suatu isu, akan terintegrasi ke dalam frame. Karenanya, resonansi budaya secara umum merupakan mekanisme kunci untuk menghubungkan sumber daya dalam suatu strategi mengintegrasikannya.
Pada mulanya pemerintah berusaha mencari ‘legitimasi’ keputusan menaikkan harga BBM, TDL dan telepon dengan membentuk frame keadilan. Frame ini muncul bersamaan dengan pengumuman keputusan menaikkan harga BBM, TDL dan telepon hingga tanggal 13 Januari. Disini pemerintah berusaha untuk ‘menghegemoni’, melalui pembenaran-pembenaran dengan logika pemerintah. Namun frame ini justru ditolak (resisted) oleh masyarakat, karena frame devices maupun reasoning devices tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Frame keadilan mengalami pasang surut
sejak dimunculkan hingga hilang (mati)
Sejalan dengan itu muncul frame menyengsarakan rakyat dan frame pemerintah tidak berpihak pada rakyat sebagai bentuk penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Frame ini berkembang makin kuat ketika pemerintah tetap pada sikapnya, dan tidak merespon tuntutan agar membatalkan keputusannya. Pada titik ini mulailah terjadi pertarungan antara frame keadilan dengan frame menyengsarakan rakyat dan frame pemerintah tidak berpihak pada rakyat, ketika frame-frame kelompok-kelompok kepentingan ini jusrtu mendominasi, menguasai bahkan ‘mematikan’ frame pemerintah. Ada perbedaan naik-turunnya frame keadilan, mengengsarakan rakyat dan pemerintah tidak berpihak pada rakyat antara Suara Merdeka dan Wawasan.
2. Pertarungan Frame
Frame keadilan pada harian Suara Merdeka muncul pada tanggal 2 Januari 2004 lalu hilang pada tanggal 3 dan 4 Januari, muncul lagi tanggal 5 Januari dan menguat tanggal 6 hingga 8 Januari. Frame ini melemah tanggal 9 hingga 12 Januari. Frame ini sangat kuat pada tnggal 13 Januari ketika Presiden Megawati mengeluarkan statemen seerti tampak dalam judul berita “Mega : Keputusan yang Sulit”. Disini kelihatan sekali bagaimana presiden berupaya agar framenya tetap kuat dan diterima oleh rakyat.
Namun kenyataan di lapangan berbicara lain ketika keesokan harinya (tanggal 14 dan 15 Januari) frame ini berbalik menjadi lemah ketika Suara Merdeka menurunkan berita berjudul “FPDI-P dan Presiden beda Sikap” (14/1) dan “PDIP Pecah jadi Dua” (15/1). Frame keadilan kian melemah pada saat pemerintah menunda kenaikan tarif telepon (16/1),
dan memutuskan mengkaji ulang harga BBM dan TDL (17/1) dan mati / hilang sama sekali setelah pemerintah menurunkan harga solar (21/1).
Sementara itu frame menyengsarakan rakyat juga muncul mulai tanggal 2 Januari dan cenderung terus menguat secara stabil mulai tanggal 3 hingga tanggal 6 Januari dan sangat kuat mulai tanggal 7 hingga 21 Januari setelah pemerintah membatalkan kebijakan tersebut. Frame pemerintah tidak berpihak pada rakyat juga muncul tanggal 2 Januari mulai mulai menguat tanggal 3 dan bertahan hingga tanggal 12, dan menjadi sangat kuat pada tanggal 14 Januari setelah Presiden masih tetap bertahan tidak akan menunda kenaikan.
Sangat Kuat
Kuat
Muncul / lemah
Mati / Hilang
Mulai saat itu frame keadilan mendapat “gempuran” dari frame menyengsarakan rakyat dan frame pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Hasilnya adalah frame keadilan terus melemah hingga akhirnya mati / hilang. Dua frame kelompok kepentingan juga menurun seiring dengan dipenuhinya tuntutan mereka.
Frame keadilan pada harian sore “Wawasan” mengalami naik-turun yang tajam. Frame keadilan pada harian sore “Wawasan” mengalami naik-turun yang tajam. Muncul pada tanggal 3 Januari 2004, turun tanggal 4 dan 5, muncul lagi tanggal 6 Januari, tetapi hilang / mati pada tanggal 7 sampai 12. Lalu muncul sangat kuat pada tanggal 13, tetapi langsung melemah keesokan harinya dan secara perlahan terus turun bersamaan dengan kuatnya resistensi masyarakat hingga akhirnya pemerintah mengambil keputusan tepat, yaitu membatalkan keputusan yang mendapat cercaan berbagai pihak.
Frame menyengsarakan rakyat muncul lebih awal, yaitu tanggal 2 Januari, mulai menguat pada tanggal tiga dan stabil hingga tanggal 6 Januari. Mulai sangat kuat mulai tanggal 8 hingga pemerintah mencabut keputusanya, lalu secara perlahan menurun – mati/hilang.
Sangat Kuat
Kuat
Muncul / lemah
Mati / Hilang
Sementara frame pemerintah tidak berpihak pada rakyat, mulai tampak pada tanggal sejak tanggal 2 dan menguat mulai tanggal 3 Januari yang bertahan terus sampai tanggal 12 Januari. Lalu menjadi sangat kuat pada tanggal 14 Januari hingga tanggal 21 Januari, dan mulai menurun sejak 22 Januari 2003.
Isu kenaikan harga BBM, TDL dan telepon membawa perubahan situasi dalam masyarakat memunculkan resonansinya, lalu ditangkap oleh media dan merangka isu tersebut. Ketika resonansinya makin kuat, maka akan semakin besar pula kemungkinan frame muncul di media. Dalam tulisannya yang berjudul ‘The Political Culture of Social Welafare Policy’ Gamson and Lasch (1983) berpendapat berbagai kemasan (package) yang
menjadi bagian isu kultur kesejahteraan mengeluarkan resonate (gaung) yang berbeda dengan tema yang lebih luas. Kita menganggap resonansi kemasan itu memberi pendekatan khusus, memperbesar dan meningkatkan pemakaian media mereka, ‘prominence of display, dan popular usage’.
Dengan berkumpulnya berbagai frame pada kedua media tersebut terjadi pertarungan frame antara dua kelompok besar, yaitu frame pemerintah melalui “paket keadilan’ dengan frame dari berbagai kelompok kepentingan yang anti-keputusan pemerintah dengan frame menyengsarakan rakyat dan frame pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Dan sebagaimana layaknya sebuah pertarungan, ada pemenang dan ada pecundang. Ketika akhirnya pemerintah mengumumkan pembatalan keputusannya secara bertahap (telepon tanggal 15 Januari 2003, revisi BBM tanggal 20 Januari 2003 dan pada tanggal yang sama PLN membuat kebijakan khusus dengan memberi kopensasi 2,5 % untuk pengguna listrik bisnis dan industri serta potongan Rp 3000,- untuk rumah tangga dan sosial dengan daya hingga 900 VA) menunjukkan kekalahan frame pemerintah, dan kemenangan frame kelompok kepentingan.
Berbagai tulisan, baik berupa berita maupun tajuk rencana seputar isu kenaikan harga BBM, TDL dan telepon yang demikian ‘dinamis’ menunjukkan adanya keberanian masyarakat dan media menyuarakan kepentingannya secara terbuka, dan di sisi lain pemerintah tidak malu untuk menarik kebijakan yang jelas ditolak oleh masyarakat. Meskipun keputusan itu tidak dibatalkan sepenuhnya, setidaknya ada jalan tengah yang menguntungkan semua pihak.
SIMPULAN
Pemerintah selaku pengatur tata kenegaraan sudah barang tentu akan berusaha membentuk dan mempertahankan frame yang dibuatnya dengan mendekatkan frame tersebut dengan resonansi budaya masyarakat. Di samping itu sangat mungkin frame ditolak (resisted) ketika resonansinya tidak bertemu dengan kondisi masyarakat. Di pihak lain, frame yang dibentuk berbagai elemen masyarakat semakin besar dan populer dibanding frame pemerintah : keadilan. Karena dalam kacamata rakyat tindakan pemerintah justru tidak mencerminkan keadilan. Mereka melawannya dengan frame pemerintah menyengsarakan rakyat dan frame pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Dua frame terakhir selanjutnya mampu bertahan dan mengalahkan frame pemerintah, karena ‘gaung’nya merefleksikan pengalaman rakyat yang telah terhimpit berbagai kesulitan. Tidak mengherankan bila akhirnya pemerintah terpaksa menarik kembali keputusannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Ana Nadya, Pemberitaan Isu Pelecehan dan kekerasan Seksual dalam Surat kabar
Indonesia, dalam: Idi Subandi Ibrahim, Hanif Suranto(1998), Wanita dan Media,
Konstruksi, Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: Rosdakarya.
Durham (1998), News Frame as Social Narratives : TWA Flight 800, International
Communication Association.
Eriyanto (2002), Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta:
LkiS.
Fredin Eric. S. Et,all (2001) dalam: Resee et. all, Framing Public Life: Perspective On
Media and Our Understanding of Social World, Mahwah, New Jersey – London:
Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Gamson, William A., Kathryn E. Lasch (1983), The Political Culture of Social Welfare
Policy dalam S.B Spiro and E. Yuctman-Yaar, Evaluation The Welfare State, New
York: Academic Program.
Gamson (1998) dalam Durham, News Frame as Social Narratives: TWA Flight 800,
International Communication Association
Gans, Herbert J. (1980), Deciding What’s News, A Study of CBS Evening News, NBC
Nightly News, Newsweek, and Time, New York: Vintage Books, A Division of
Random House.
Griffin, E.M. (2000), A First Look at Communication Theory, Fourth Edition, Boston,
Burr Ridge: Mc Graw Hill.
Hidayat, Dedy. N., et. all (2000) Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Lincoln, Yvonna S, Egon G. Guba (1985) Naturalistic Inquiry, Beverly Hills, London,
New Delhi : Sage Publication.
Menayang, Victor, et.all, Pers Bawah Tanah: Media Sebagai Pergerakan Sosial, dalam
Dedy Nur Hidayat, et. all (2000) Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah
Hegemoni, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Menayang, Victor, Bimo Nugroho, Dina Listiorini (2002) Indonesia’s Underground Press
The Media as Social Movements, dalam Gazette : The International Journal for
Communication Studies London, Thousan Oaks & New Delhi : Sage Publication.
Moleong, Lexy J. (2001), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng (2002) Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin
Nimmo, Dan (1989), Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media, Bandung:
Remaja Karya.
Rahmat, Jalalludin (2001), Psikologi Komunikasi, Bandung: Rosda.
Reese , Stephen D., et. all (2001) : Framing Public Life, Perspective On media and Our
Understanding of Social World, Mahwah, New Jersey – London : Lawrence Erlbaum
Associates, Publishers.
Scheufele, Dietram A., (1999) Framing as a Theory of Media Effect dalam Journal of
Communication, Winter Vo. 49 No. 1.
Shoemaker, J. Pamela, Stephen D. Reese (2001) Mediating The Message, Theories of
Influences on Mass media Content, , USA : Longman Publishers.
Sobur, Alex (2001), Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung : Rosdakarya.
Sutopo, H. B., (2002) Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya
dalam penelitian, Surakarta, Indonesia : Sebelas Maret University Press.
Triputra, Pinkey, Isi Media Sebagai Produk Interaksi Antargensi: Kasus Media Cetak
pada Mei 1998 dalam Dedy. N. Hidayat (2000), Pers dalam Revolusi Mei : Runtuhnya
Sebuah Hegemoni, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Zoch, Lyn M (20001) dalam Resee et. all, (2001) : Framing Public Life, Perspective On
Media and Our Understanding of Social World, Mahwah, New Jersey – London:
Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
0 comments:
Post a Comment