Friday, June 25, 2010

Manajemen Redaksional Dan Kode Etik Jurnalistik

                                                            Liliek Budiastuti Wiratmo 

A. Pendahuluan*)
       Industri media merupakan bidang usaha yang berbeda dengan bidang-bidang lain. Hal ini karena industri media bukan ‘sekedar’ lembaga ekonomi, tetapi juga lembaga sosial yang  memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat dimana media tersebut hidup dan berkembang. Sistem kerjanya yang selalu dikejar ‘deadline’ membuat pekerja media yang biasa disebut jurnalis selalu berpacu dengan waktu, agar apa yang disajikan suatu media lebih hangat, lebih aktual dibanding media yang lain.. Di sisi lain, karena jurnalis (wartawan) merupakan suatu profesi, maka muncul tuntutan untuk mematuhi kode etik jurnalistik. Memadukan dua kepentingan yang berbeda, antara kepentingan profit dan etik menjadi salah satu bagian penting dalam pengelolaan media. Disinilah dituntut pengelolaan (manajemen) redaksi yang baik pula agar media tersebut memiliki ‘roh’,  jiwa yang akan memperkuat keberadaannya


B. Manajemen Redaksional
         Redaksi dapat diumpamakan sebagai sebuah kuali dimana proses memasak dilakukan. Di ruang redaksilah dimulai semua kegiatan untuk mencari/mengumpulkan berita, memilih, menyunting/mengedit, menata wajah (lay out) dilakukan sebelum dilanjutkan ke percetakan (media cetak) atau ke ruang siaran (media penyiaran). Ratusan bahkan ribuan naskah yang masuk ke meja redaksi harus dikelola dengan baik agar hasilnya juga baik.
         Secara umum di ruang redaksi terdapat beberapa bagian yang mengelola bidang-bidang tertentu:
  1. Pemimpin Redaksi, yang mengendalikan penentuan liputan, mencari topik utama dan fokus pemberitaan, pemilihan headline, opening news, penyajian berita, menentukan penulis/menulis tajuk rencana.
  2. Managing editor/redaktur pelaksana, adalah orang yang membantu pemimpin redaksi dalam operasional sehari-hari yang terdiri dari:
    1. Bagian operasi, merupakan bagian yang mencari/mengejar, dan mengumpulkan berita (news getting/news gathering). Bagian ini biasa dipimpin koordinator liputan/penanggungjawab liputan yang membawahi beberapa wartawan sebagai ujung tombak.
    2. Bagian pengelolaan yang memproses ‘pematangan’ sebuah berita, dibantu sub-editor (desk) yang membawahi bidang-bidang (ekonomi, politik, olah raga dan sebagainya.
              Managing editor juga dibantu redaktur halaman yang biasanya dibagi menurut topik pada halaman tertentu.



  
   Pengelolaan redaksional membutuhkan kesigapan dan kecepatan menghadapi setiap perkembangan karena peristiwa demi peristiwa terus terjadi, dan seluruh jajaran jurnalis dituntut selalu bergerak cepat. Di meja redaksi ditentukan apa yang akan menjadi headline, siapa yang akan menjadi berita utama, mana berita yang dimuat dan mana yang tidak, mana berita yang harus disunting (diedit) dan mana berita yang hanya patut mengisi keranjang sampah. Menjaga kelangsungan roda pekerjaan menjadi bagian dari kesibukan di ruang redaksi. Tingginya tekanan ‘dikejar deadline’ mengharuskan seorang redaktur aktif bertindak selaku narasumber bagi jurnalis yang berada dalam tanggungjawabnya. Menurut IPI Manual The Active Newsroom: “There is the passive news editor who react like a chief clerk in a government office through whom eveything must pass, but who does not initiate or inspire any action. The newspaper with a passive news editor will sooner or later lose its readers”.

C. Kode Etik Jurnalistik
        Pekerjaan redaksi tidak hanya berhenti pada pengelolaan intern semata untuk menjamin kelancaran aliran pekerjaan di ruang redaksi, namun juga harus mempertimbangkan aspek ekonomis. Apa yang harus dilakukan agar media yang dikelola disukai khalayak? Hal ini tentu memerlukan pemikiran yang serius dan tidak main-main. Namun sebagai salah satu institusi sosial tentu harus dapat memberikan nilai-nilai kebaikan sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya. Profesionalisme jurnalis dipertaruhkan manakala sebuah media tidak dapat menyajikan detak kehidupan masyarakatnya. Alasan profesionalisme itu pula, maka jurnalis tetap harus mempertahankan jati diri, kebebasannya tanpa merusak tatanan masyarakat yang kemudian mendorong kesadaran membuat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai bentuk perlunya batasan-batasan yang dibuat dan harus dipatuhi jurnalis.
       Sebelum era reformasi hanya ada satu KEJ yang dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indoensia) sebagai satu-satunya organisasi wartawan. Namun seiring dengan lahirnya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers memungkinkan berdirinya berbagai asosiasi wartawan. Dan tentu lahir Kode Etik Jurnalistik yang dibuat oleh masing-masing asosiasi, diantaranya Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang disusun dan ditandatangan di Bandung tanggal 6 Agustus 1999 oleh 26 wakil organisasi wartawan Indonesia, seperti AJI, IJTI, PWI, dll dan  pengawasan serta sanksi KEWI dilakukan oleh Dewan Pers. Namun PWI tetap memiliki Kode Etik Jurnalistik yang mengikat anggota PWI yang pengawasan dan penetapan sanksinya dilakukan oleh Dewan Kehormatan PWI. KEJ PWI terbaru merupakan keputusan Kongres XXI PWI di Palangkaraya Kalimantar Tengah tanggal 2-5 Oktober 2003.
        Pada dasarnya esensi Kode Etik Jurnalistik sama, yaitu  merupakan pedoman kerja bagi wartawan agar dalam menjalankan tugasnya tetap berada dalam rambu-rambu etika. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) disusun sangat sederhana, yang terdiri dari 7 poin berikut:
  1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar
  2. Wartawan Indonesia menenpuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi
  3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang serta selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
  4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkaninformasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak melakukan plagiat.
  5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi.
  6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
  7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
Sedangkan KEJ yang dibuat PWI lebih detil, terdiri dari 4 bab 17 pasal lengkap dengan penafsirannya yang menyatu dengan KEJ itu sendiri. Namun profesionalitas tetap dapat dilihat seberapa setia  seorang wartawan terhadap kode etik yang dibuat oleh asosiasinya.

Bahan Acuan
Christianto Wibisono, Pengetahuan Dasar Bagi Wartawan Indonesia, Dewan Pers,
       1977.
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius,
       Yogyakarta, 1987.
Hikmat Kusumaningrat, Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik, Teori & Praktik,
        Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005
Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik, seputar Organisasi, Produk dan Kode Etik,
        Nuansa, Bandung, 2004.
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, Remaja Rosdakarya, Bandung,  2002.




******


* ) Disajikan dalam Pelatihan Jurnalistik untuk Pelajar SMU Se-Semarang, 22 Agustus 2005

0 comments:

Post a Comment