Tuesday, June 8, 2010

Fenomena Majalah Wanita


Liliek Budiastuti Wiratmo[2]
Ringkasan
Semakin meningkatnya media cetak yang sasaran pembacanya perempuan mestinya disambut dengan gembira, karena diharapkan media tersebut akan dapat mengungkap dan menyelesaikan persoalan perempuan. Persoalan-persoalan tersebut bukan hanya masalah menyangkut masalah-masalah domestik, namun sesungguhnya meliputi prosoalan politik, ekonomi, dan sebagainya. Namun realtas yang ada saat ini, majalah wanita tersebut lebih mengedepankan persoalan domestik yang mestinya harus diimbangi dengan persoalan publik. Tulisan ini mengungkap majalah wanita seperti apa yang dapat mencersakan
.

PENDAHULUAN
        Era reformasi telah memberikan perubahan dalam segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia, temasuk perkembangan media massa yang sangat pesat. Keran kebebasan yang telah dibuka sangat menjanjikan peluang bisnis pada segmen pembaca yang lebih spesifik. hal ini didukung dengan meningkatnya pendidikan, peluang kerja bagi perempuan yang tentu juga menjadi peluang bagi lahirnya majalah wanita.
       Kini kita dengan mudah menemukan media yang diperuntukkan bagi perempuan – remaja maupun wanita matang, baik berbentuk tabloid dengan harga yang relatif murah, maupun majalah dengan tampilan lux yang harganya tidak bisa dibilang murah. Kondisi ini tentu saja memberi indikasi besarnya relung pasar yang masih tersedia. Sehingga semakin banyak pula majalah dari “luar” yang diterbitkan dalam edisi Indonesia, seperti majalah “HerWorld” misalnya. Perkembangan ini tentu saja dikarenakan ibu rumah tangga memainkan peran yang vital dalam perubahan gaya hidup keluarga, demikian kata Andre Harjana (1998). Dalam penelitiannya ia menemukan sajian favorit dalam tabloid wanita 1) Masak-memasak, 2) Bonus Makanan, 3) Konsultasi kesehatan, 4) Konsultasi psikologi, dan 5) Konsultasi etiket. Temuan penelitiannya yang paling menarik berkaitan dengan alasan responden menggunakan kosmetika, yaitu untuk meningkatkan rasa percaya diri dan demi penampilan sebagai wanita (bahwa wanita harus cantik). Namun perlu dipertanyakan pendapat Andre Harjana mengatakan alasan tersebut didorong oleh “drive” atau “desakan hati” dari diri sendiri, bukan karena tekanan lingkungan. Karena adanya keyakinan bahwa perenpuan harus cantik, kalau tidak cantik tidak layak disebut sebagai wanita. Ditengarai hal ini lebih sebagai “want” bukan “need”.
       Hal ini didukung kenyataan, dalam  perkembangannya kemudian majalah                                                                                                                 wanita lebih banyak memunculkan lifestyle yang pasti akan mempengaruhi gaya hidup pembacanya. Karena tekanan media massa yang sangat kuat yang justru akan membentuk representasi perempuan sebagaimana diinginkan para pemodal untuk mengembangkan bisnisnya. Sungguh sayang, hingga saat ini masyarakat Indonesia masih bersikap pasif, belum mampu bersikap kritis terhadap sajian media. Mereka menerima secara pasif apa yang disajikan oleh media. Sebagai gambaran media merekonstruksi perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih, berambut lurus bertubuh langsing. Bagi yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidaklah cantik, dan untuk mereka disediakan produk yang dapat membuat kulit menjadi putih, rambut menjadi lurus dan tubuh menjadi langsing. Sangat sedikit perempuan yang berpikir dan bersikap kritis, bahwa warna kulit seseorang terbentuk karena pigmen yang tidak dapat dihilangkan, rambut yang keriting karena gen yang dibawanya memang demikian, dan sebagainya.
        Namun masalahnya adalah bagaimana majalah wanita tersebut memainkan penting dalam perkembangan zaman yang semakin penuh tantangan melalui representasi perempuan dalam sajian-sajiannya. Ashadi Siregar (1998) 14 tahun yang lalu melakukan kajian isi terhadap majalah ‘Kartini” dan ‘Sarinah’ terbitan bulan Oktober, Nopember, Desember 1991 yang fokusnya adalah pada reportase berita dan feature. Kajian tersebut menemukan 148 item berita dan feature. Berdasar lingkup peristiwa 47 item (31,76 %) menyajikan lingkup domestik, 97 item (65,54 %) menyajikan lingkup publik dan 4 item (2,7 %) gabungan keduanya. Temuan yang menarik adalah, dimensi politik hanya 4,06%, ekonomi 2,7 %. Yang terbanyak adalah peristiwa sosial yang menyangkut kriminalitas, pelayanan sosial dan sebagainya. Kemudian masalah budaya 35 item dan pribadi -yang menyangkut penderitaan pribadi, Perkawinan yang gagal dan sejenisnya 43 item.
       Representasi perempuan dalam majalah wanita menjadi penting manakala kita ingin melihat bagaimana majalah wanita menggambarkan idealisme tentang perempuan melalui rubrik kisah sejati (confession/sob story). Karena dalam masyarakat Indonesia yang patriakhi, perempuan masih didominasi laki-laki dalam hidup kesehariannya. Ada sikap mendua, ketika mengatakan adanya peran ganda perempuan. Disatu sisi mereka bebas bergerak di ruang publik, disisi lain tetap dibebani dengan peran domestik. Sebagaimana dipertanyakan Julia I. Suryakusuma (1998) : Bila Indonesia sudah benar-benar lepas landas, atau paling tidak benar-benar menuju lepas landas, apakah proses domestikasi ini bisa dipertahankan, pada majalah wanita ataupun masyarakat pada umumnya? bagaimana majalah wanita di Indonesia menjelang abad ke-21 (saat ini sudah di abad 21-pen) menghadapi tantangan ini?

SEMANGAT KAPITALIS DALAM MAJALAH WANITA
       Stuart Hall dalam buku Representation : Cultural Representation and Signifying Practice mengemukakan adanya dua sistem representasi. Pertama, mental representation, yaitu “meaning depens on the system of concept and images formedin our thoughts which can stand for or ‘represent’ the world, enabling us to refer to things both inside and outside our heads’. Kedua, makna yang bergantung pada konstruksi sebuah set korespondensi antara peta konseptual kita  dan sebuah set tanda, bahasa, yang merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Sedangkan Junaidi dalam tulisan The Body Shop ; representation and Identities, maka proses yang menghubungkan ‘things, concept dan sign’ tersebut diberi nama representation. (Eva Leiliyanti, 2003)
Begitu pula representasi perempuan dalam media massa juga akan dipengaruhi bagaimana konstruksi sosial yang melingkupinya, termasuk di dalam majalah wanita.  Karena sebagai politik kapitalis industri media sangat dipengaruhi berbagai hal baik yang ada dalam organisasai media maupun ekstra media, sebagaimana dikemukakan Shoemaker dan Reese (2001). Ada lima tataran yang mempengaruhi isi media, yaitu tataran individual pekerja, tataran rutinitas media, tataran organisasai media, tataran ekstra media dan faktor ideologi. Termasuk dalam tataran individual pekerja media adalah latar belakang sosil, ekonomi, pendidikan wartawan. Rutinitas media menyangkut kepentingan khalayak yang meliputi nilai berita, obyektifitas, struktur cerita. Sedangkan organisasai media menyangkut gatekeeper, perspektif pemberitaan dan lain-lain, serta sumber eksternal seperti pidatom interview, dan lain-lain.
         Julia I. Suryakusumah mengatakan “Majalah wanita adalah komoditas ekonomi. sebagai komoditas, ia  berkewajiban menunjang komoditas lainnya. secara ekonomis, majalah wanita adalah suatu bisnis, - yang sebagai lembaga kapitalis yang sehat dan sejati-bertujuan mencari keuntungan dari konsumen, pembacanya. (Julia I. Suryakusuma, 1998)
      Pernyataan Julia tersebut didukung pernyataan Naomi Wolf (Tri Hastiti Nur, 2003) dalam bukunya The beauty Myth : How Images of beauty Are Uses Against Women yang mengatakan perempuan rela menderita dengan melakukan diet dan menghabiskan banyak waktu untuk merawat tubuhnya agar tetap langsing, indah dan cantik.
Erica Carter sebagaimana dikutip Piliang (1998) mengatakan bahwa wanita marjinal dan subordinat di dalam bidang ‘budaya kerja maskulin’ (kelas pekerja), akan tetapi mereka dibentuk oleh ideologi masyarakat patriakhi untuk menjadi dominan di bidang subordinat, yaitu sebagai obyek konsumsi atau obyek tontonan dan sebagai ‘subyek konsumsi’ (konsumer). Pria identik dengan ‘produksi’ (pabrik, teknologi, manajemen), sedangkan wanita identik dengan ‘konsumsi’ (belanja, mal, dapur).  Bagaimana masyarakat mengkonstruksi perempuan sebagai makhluk lemah dan laki-laki sebagai ‘kuat’ tampak dalam tabel pembedaan antara men (laki-laki) dan women (perempuan) yang dikemukakan Helen MacDonald (Novi Kurnia, 2004) berikut:
           Pembedaan antara men (laki-laki) dan women (perempuan)
MEN are (should be):
WOMEN are (should be):
  • Masculine
  • Feminine
  • Dominant
  • Submissive
  • Strong
  • weak
  • aggressive
  • passive
  • inteligent
  • intuitive
  • rational
  • emotional
  • active (do things)
  • communicative (talk about things)
MEN like :
WOMEN like :
  • cars/tachnology
  • shopping/make up
  • getting drunk
  • social drinking with friends
  • casual sex with many partners
  • commited relationship
Sumber : Helen MacDonald dalam Novi Kurnia
Pembedaan di atas mengindikasikan perempuan menjadi komoditas yang layak untuk dimikmati, karena keindahan dan kecantikannya. Oleh karenanya ada semacam dorongan agar wanita tetap dapat menjaga “komoditas”nya agar tetap tampil sebagaimana yang sering muncul dalam iklan bebagai produk.Sedangkan  Stereotype representasi feminimitas (perempuan) dan maskulinitas (laki-laki) dapat dilihat dalam tabel berikut :
Konotasi femininity dan masculinity

Femininity

Masculinity

  • Beauty (within narrow conventions)
  • Stength – physical and intelectual
  • Sizelphysique (again, within narrow conventions)
  • Power
  • Sexuality (as expressed by the above)
  • Sexual attractiveness (which may be based on the above)
  • Emotional (as opposed to intelectual
Dealings
  • Physique
  • Relationship (as opposed to independence/freedom)
  • Independence (of thought, action)
  • Being part of context (famliy, friends,
Colleagues)
  • Being isolated as not needing to rely on otherss (the lone hero)
Sumber : Novi Kurnia
            Gallagher (Liesbet van Zoonen, 1999) menyimpulkan : women are underrepresented in the media, in production as well as in content. Moreover, the women that do appear ini media content tend to be young ang conventionally pretty, defined in relation to their husband, father, son, boss or another man, and portrayed as passive, indesicive, submissive, dependent, etc”. Pernyataan tersebut sangat jelas menempatkan wanita pada posisi yang sangat inferior dibanding laki-laki yang superior.
       Debra A. Yatim (1998) dalam tulisan berjudul ‘Perempuan dan media Massa, Oleh Pria untuk Priakah?’ berkata : Disatu pihak, betul media jadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya. Namun, di pihak lain, ia juga membentuk realitas sosial itu sendiri. Lewat sikapnya yang selektif dalam memilih hal-hal yang ingin diungkapkannya, dan juga lewat caranya menyajikan hal-hal tersebut, media memberi interpretasi, bahkan membentuk realitasnya sendiri”.
JATI DIRI MAJALAH WANITA
      Saat ini majalah wanita yang lebih mengedepankan kepentingan pemilik kapital daripada kepentingan perempuan itu sendiri. Kondisi ini telah mengaburkan jatidirinya sebagai media yang diharapkan dapat mengangkat dan membantu menyelesaikan persoalan perempuan. Pernyataan yang sangat keras dikemukakan oleh Naomi Wolf melalui karyanya yang berjudul “Fire with Fire” (Idi Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto, 1998), bahwa “Untuk menyumbat kemampuan perempuan media massa bisa digunakan untuk melestarikan dan memupuk apa yang disebut “aparteheid gender”. Dalam pandangan Wolf, “apartheid gender” menimbulkan akibat yang aharus ditanggung perempuan, yaitu:
Pertama, mematikan perdebatan, sehingga membuat saluran politik perempuan tersumbat. Kedua,karena para redaktur media merasa tidak perlu meliput isu-isu yang akan mempengaruhi lebih dari separuh pembaca, pendengar atau pemirsa-merekapun gagal memberikan informasi yang diperlukan oleh lebih dari separuh penduduk negerinya tentang cara menentukan pilihan terbaik sesuai kepentingan mereka masing-masing. Ketiga, bias ini sebenarnya melecehkan gerakan perempuan, dan akibatnya mengasingkanperempuan pada umumnya dari wakil-wakil mereka di institusi-institusi demokrasi dalam masyarakat modern. Keempat, lantaran isu-isu yang berpengaruh terhadap perempuan hampir tidak pernah menembus ruang publik untuk diangkat dalam dialog yang bebas, maka jadinya komentar-komentar umum yang bisa lolos ke gelanggang plolitik dihargai terlalu tinggi, meski komentar-komentar itu tidak ‘berbudi-bahasa’, miskin nuansa, tidak melalui tanya jawab silang, Krenanya komentar-komentar itu lebih sering menanggung beban berat berupa posisi kaku yang defensif, bukannya massa yang luwes dengan gagasan-gagasan bebas yang bisa berubah-dan karena itu argumen mereka gampang dipatahkan.
       Karenanya majalah wanita yang memiliki peran strategis diharapkan untuk memberikan pencerahan (enlighment) dan melakukan pemberdayaan (enforcement)  perempuan secara lebih optimal. Untuk itu dapat dikutip tulisan Mansour Faqih (2001), yang mengatakan ada dua agenda  untuk mengakhiri sistem ketidakadilan gender, yaitu melawan hegemoni yang merendahkan perempuan dan melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa kertebelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Kedua agenda tersebut dapat dilakukan melalui sajian pada majalah wanita, untuk mengimbangi sajian yang menempatkan perempuan sebagai komoditas ekonomi.
       Apa yang dikemukakan Faqih di atas dapat diperkuat dengan pernyataan Kamla Basin (Nur Iman Subono, 2003) : Pemberitaan atau tulisan yang berperspektif gender harus memperhatikan : a. bentuk ketidakalilan gender (bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotipe atau label negatif terhadap kaum perempuan, beban kerja dan kekerasan serta sosialisasi keyakinan gender yang semakinmemojokkan perempuan. Semuanya saling berkait dan menguatkan yang kemudian dilestarikan oleh ideologi dan budaya patriakhi. b) tempat dimana ketidakadilan gender tersebut terjadi (yang bisa dipantau dari dari setiap tingkatan yakni mulai dari tingkat negara dan masyarakat hingga ke budaya dan keyakinan, tempat kerja, rumah tangga dan keyakinan pribadi.
     “Majalah wanita, majalah yang mempunyai tugas khusus, yaitu menciptakan dunia yang khas untuk wanita” (Myra Sidharta, 1998). Myra mengatakan majalah wanita mempunyai potensi yang besar, dan memiliki tugas yang besar pula. Tugas-tugas itu meliputi: Pertama, mengubah gaya hidup konsumtif menjadi gaya hidup aktif-kreatif. Kedua, meningkatkan selera pembaca, dari bahan bacaan penghibur dan sensasional provokatif menjadi bahan bacaan berpikir dan berarti. Ketiga, mendidik kaum wanita menjadi wanita yang mengetahui hak-hak dan batas-batas kewajibannya di dunia yang didominasi oleh kaum pria. Keempat, mendidik kaum wanita untuk menghadapi tugas-tugas dan masalah-masalah di kemudian hari. karena jurang generasi yang terjadi dewasa ini, adalah kurangnya persiapan generasi tua untuk menghadapi generasi muda. Kelima, dalam tugas yang futuristik ini para ibu juga harus dibantu untuk mempersiapkan putra-putri mereka untuk menghadapi masalah-masalah mereka di masa datang. Sedangkan para putri harus juga dipersiapkan untuk masa datang ini, tanpa menanamkan kekhawatiran dan kecemasan pada mereka.

KESIMPULAN
1.      Keberadaan majalah wanita sangat strategis untuk memperjuangkan kepentingan perempuan;
2.      Majalah wanita yang ada saat ini cenderung mengikuti kepentingan pemilik modal yang tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan semata.
3.      Diperlukan majalah wanita yang mempunyai jatidiri sehingga dapat memberikan pencerahan, pencerdasan dan pemberdayaan perempuan.
******


DAFTAR PUSTAKA
Faqih, Mansour (2001)  Analisis Gender dan Transformasi Sosial , Yogyakarta
        Pustaka Pelajar.

Hardjana, Andre A. Wanita Kota dan Media Massa : Temuan Empiris tentang pola
        dan Tujuan Penggunaan Media (1998)  dalam Idi Subandi Ibrahim dan Hanif
        Suranto (Ed), Wanita dan Media, Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang
        Publik Orde Baru, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Ibrahim, Marwah Daud (1998), Perempuan dan Komunikasi : Beberapa Catatan
       Sekitar Citra Perempuan Dalam Media (1998) dalam Konstruksi Ideologi gender
      dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Kurnia, Novi (2004), Representasi Maskulinitas dalam Iklan, dalam Jurnal Ilmu Sosial
      Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Vol. 8 No. 1 Juli 2004, Represen-
      tasi dan Keberpihakan Media.

Leiliyanti Eva (2003), Konstruksi Identitas Perempuan dalam Majalah Cosmopolitan,
        Dalam Jurnal Perempuan No 28 (2003), Perempuan dan Media.

Nur, Tri Hastisi (2003), Stereotipi dan Komodtisasi Perempuan dalam Iklan, dalam  
       Jurnal Perempuan No 28 (2003), Perempuan dan Media.

Piliang, Amir Yasraf (1998), Masih Adakah ‘Aura’Wanita di Balik ‘Euphoria Media
      dalam Idi Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto (Ed), Wanita dan Media, Konstruksi
      Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Shoemaker, J. Pamela,  Stephen  D. Reese  (2001),    Mediating  The    Messages,
      Theories of Influences on Media Content, USA : Longman Publishers.

Sidharta, Myra M. (1998), Majalah wanita Antara Harapan dan Kenyataan dalam Idi
       Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto (Ed), Wanita dan Media, Konstruksi Ideologi
       Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Siregar, Ashadi (1998), Media Wanita, Apakah Produk Dikotomi Pria-Wanita?, dalam
       Idi Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto (Ed),    Wanita dan Media,       Konstruksi
       Ideologi gender Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde   Baru,
       Bandung :Remaja Rosdakarya.

Subono, Noor Iman (2003), Menuju Jurnalistik yang Berperspektif Gender dalam
      Jurnal Perempuan No 28 (2003), Perempuan dan Media.

Suryakusuma,   Julia I. Beban Muskil Majalah Wanita  (1998)  dalam   Idi Subandi
        Ibrahim dan Hanif Suranto (Ed), Wanita dan Media, Konstruksi Ideologi gender
        dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Yatim Debra A. (1998),   Perempuan dan Media Massa,  Oleh Pria untuk Priakah?,
        Dalam dalam   Idi Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto (Ed), Wanita dan Media,
        Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung : Remaja
        Rosdakarya.

Zoonen, Liesbet Van, Feminist Media Studies (1999), London : Sage Publication


[1] Dimuat pada Jurnal Eksplanasi Vol. 1 No. 2 Nopember 2006

[2] Dosen Sekolah Tinggi ilmu Komuniaksi (STIKom) Semarang

0 comments:

Post a Comment