Tuesday, June 8, 2010

Membangun Industri Penyiaran di Indonesia

Liliek Budiastuti Wiratmo
                                               Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang
        Industri penyiaran yang padat modal menuntut kreatifitas dan ketajaman membaca peluang untuk memenangkan persaingan antar lembaga penyiaran. Persaingan itu kadang-kadang memaksa lembaga penyiaran mengambil sikap yang merugikan kepentingan publik sebagai audiens, seperti informasi yang tidak akurat, sajian yang tidak mendidik atau justru yang mendorong khalayak berpikir instan, dan sebagainya.
       Disisi lain, lembaga penyiaran menggunakan frekuensi-gelombang elektro magnetik-milik publik yang sifatnya terbatas. Frekuensi bukanlah milik pribadi yang dapat diwariskan turun temurun atau komoditas yang dapat diperdagangkan secara bebas. Oleh karenanya pula penggunaan frekuensi tersebut harus dipertanggungjawaban terhadap publik.

        Salah satu bentuk tanggung jawab itu adalah sejauhmana lembaga penyiaran dapat memberikan nilai-nilai positif atau keuntungan bagi masyarakat melalui isi sajian-sajian yang ditampilkan. Persoalannya, belum semua lembaga penyiaran memahami kewajiban tersebut. Padahal pasal 36 UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran mengamanatkan:
(1)   Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
(3)   Isi siaran wajib memberkan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak
      khusus,   yaitu anak-anak dan remaja,    dengan menyiarkan    mata acara pada
      waktu yang tepat,  dan lembaga penyiaran  wajib mencantumkan dan atau me-      
      nyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
         Namun sesuai dengan sifat lembaga penyiaran yang mengutamakan peran mata dan telinga, maka acara-acaranya dikemas sedemikian rupa yang lebih mengutamakan sisi audio visual, sehingga  semua acara kemudian dikemas sebagai hiburan sebagaimana dikatakan Postman.  
          Dengan teknik penyajian yang demikian tak jarang juga memunculkan acara-acara yang menuai kritik bahkan hujatan dari berbagai anggota masyarakat yang prihatin (peduli) terhadap perkembangan industri penyiaran maupun kepentingan masyarakat yang lebih luas.
          Komisi Penyiaran Indonesia yang mendapat amanat Undang-Undang No. 32 tentang penyiaran mengeluarkan Pedoman perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) yang dapat memandu penyelenggara penyiaran dan masyarakat untuk bersama-sama membangun industri penyiaran yang sehat. Bukan saja sehat secara bisnis bagi lembaga penyiaran, namun juga sehat secara sosial bagi masyarakat penerima siaran.
       Disinilah diperlukan kesamaan pandang, pemahaman yang sama adanya perbedaan-perbedaan kepentingan antara pengelola radio dan televisi yang “memasok” dan khayalak yang menjadi target sasar “dagangan’. Sangat dimaklumi bila pengelola media penyiaran selalu berusaha mencari peluang, ceruk-ceruk keuntungan –karena memang lembaga penyiaran (swasta, berlangganan) bukan semata lembaga sosial, tetapi lembaga ekonomi yang mengejar profit. Namun keuntungan tentu bukan berarti mengabaikan kepentingan masyarakat yang lebih luas, yaitu apakah sajian-sajiannya dapat membawa membawa masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik, atau sebaliknya.
       Forum yang mempertemukan dua kutup yang berbeda diperlukan agar tercapai konvergensi, kesepahaman antara kepentingan pengelola lembaga penyiaran dengan khalayak. Karena apalah arti lembaga penyiaran tanpa ada khalayak yang menerima keberadaannya.
      Mungkin sangat tidak populer bila kita membandingkan kondisi kehidupan lembaga penyiaran kita sekarang dengan kondisi di Amerika pada awal perkembangan industri media. Suatu masa ketika John Milton berhasil memperjuangkan kebebasan pers yang memunculkan pers liberal, namun justru kemudian masyarakat yang keberatan dengan kebebasan tanpa batas. Masyarakat menuntut adanya tanggungjawab sosial, tanggung jawab media terhadap kepentingan publik yang kemudian melahirkan teori tanggungjawab sosial (social responsibility theory).
        Untuk kondisi di Indonesia saat ini kurang lebih dalam kondisi yang sama, setelah mengalami masa ‘kegelapan’, yang mengekang kebebasan menyampaikan maupun mengakses informasi. Tibanya masa kebebasan disambut gegap gempita, meski pada akhirnya secara perlahan muncul kesadaran ada sesuatu yang dirasa melampaui kepatutan menurut pandangan khalayak. Kondisi ini yang semestinya ditangkap oleh pengelola media penyiaran agar dapat menjadi ‘sahabat sejati’ bagi masyarakat.

1 comments:

Anonymous said...

mohon ijin bu - alvin bogor

Post a Comment