Sunday, June 6, 2010

Kekerasan di Media Dan Peran Serta Masyarakat

(Sebuah Upaya Preventif) [1]
Liliek Budiastuti Wiratmo[2]

        Ketika terjadi kasus bunuh diri yang dilakukan anak-anak, media massa dinilai  memberi kontribusi  dalam “pembelajaran” melakukan bunuh diri tersebut.  Menurut Dr. Seto Mulyadi tindakan nekat ini di satu sisi terinspirasi dari media massa. Khususnya media elektronik yang akhir-akhir ini banyak menayangkan adegan-adegan vulgar dan penuh kekerasan. (Wawasan, 16/5).
       Pada Agustus 1999 jumlah media cetak sebanyak 1.536 (Mursito, 2000), dan pada akhir September tahun yang sama menjadi lebih dari 1800 media cetak (Sinansari Ecip: 2000). Hingga kini diperkirakan jumlahnya terus bertambah. Sementara saat ini terdapat 10 stasiun televisi swasta yang mengudara secara nasional dan menurut tabloid ‘Kontan’ tanggal 30 Mei 2005  terdapat sekitar 65 stasiun televisi lokal. Di Jawa Tengah saja terdapat lebih dari 200 radio siaran swasta dan 9 televisi lokal.
        Hampir semua stasiun TV menyajikan program kriminalitas: Patroli (indosiar), Jejak kasus (Indosiar), Derap Hukum (SCTV), Sergap (RCTI), Buser (SCTV), Kriminal (Trans TV), TKP (TV7), Sidik (TPI), Investigasi (Lativi). Dua Stasiun TV yang sebelumnya tidak memiliki program ini Metro TV dan Global TV tergiur juga untuk bersaing dalam tayangan kriminalitas, dengan  Bidik dan kanal 87. TV Borobudur mengikuti jejak tersebut dengan program …Kita harus bersyukur TVRI sebagai media penyiaran publik tidak menyajikan  program yang sama.

       Sebetulnya kritik terhadap sajian kriminalitas tidak hanya dialamatkan kepada televisi, media cetak juga menerima tudingan sama, akibat sajian-sajiannya yang menyajikan gambar atau judul berita yang mengedepankan kekerasan. Yang menarik adalah: walau menuai banyak kritik, ternyata berita kriminalitas memiliki nilai jual yang tinggi. Sebagai gambaran Tabloid Bintang Indonesia Edisi Desember 2003 menulis, ‘Derap Hukum’ sebagai program kriminalitas di televisi paling berkilau sepanjang tahun 2003 (Eriyanto, 2004).      
        Disinilah muncul persoalan. Di satu sisi media dikutuk karena menyajikan adegan kekerasan, namun sekaligus juga disukai. Memang ada pribadi-pribadi yang peduli dan mau meluangkan waktu untuk menyampaikan uneg-uneg tersebut melalui surat pembaca di media cetak, atau melalui organisasi tertentu. Namun banyak pula yang tidak peduli, atau kalaupun peduli tidak tahu kemana harus menyampaikan keresahan tersebut. Biasanya mereka hanya ‘nggerudel’ dengan orang-orang di sekitarnya.

Peran Serta Masyarakat
       Kekerasan yang marak di media tentu harus disikapi secara arif. Bahwa orientasi industri media adalah profit merupakan keniscayaan. Namun di sisi lain media juga mengemban tanggung jawab sosial (social responsibility). Dan Indonesia saat ini sangat membutuhkan tanggung jawab sosial media. Walau memang ada media yang dapat memiliki tanggung jawab sosial, namum tak sedikit media yang lebih berorientasi pada keuntungan finansial belaka. Salah satu alasan mengapa kekerasan, seks, dan mistik bermunculkan di media karena pertimbangan finansial tersebut. Rating pada media penyiaran dan tiras (oplag) pada media cetak menjadi landasan pengambilan kebijakan. Semakin banyak orang yang tertarik untuk menonton, mendengarkan atau membaca sajian tertentu maka media akan semakin bersemangat untuk meramu sajian tersebut. Begitu pula ketika banyak orang yang menyukai berita atau hal-hal yang berbau kekerasan, seks, mistik maka media akan terus menyajikannya.
       Disini diperlukan kesadaran masyarakat, bahwa sesungguhnya masyarakat memiliki posisi strategis. Sebagai konsumen media masyarakat mempunyai hak untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Keberadaan dan peranserta masyarakat sebagai konsumen media dilindungi Undang-Undang. Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers mencantumkan hal itu pada Bab VII pasal 17:
Ayat (1). Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan
                pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
Ayat (2). Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a.       Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers.
b.      Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Sedangkan dalam Pasal 52 UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran tercantum:
Ayat (1). Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung
                jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran   
                nasional.
Ayat (2). Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan
               keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.
       Selanjutnya sebagai lembaga yang diberi amanat Undang-undang Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) untuk mengatur perilaku lembaga penyiaran dan lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran (biro iklan, produsen barang/jasa, production house dan sebagainya). Ke depan diharapkan masyarakat dapat memainkan perannya secara baik, sehingga media tidak mengeksploitasi masyarakat dan kepentingannya, tetapi masyarakat memiliki akses yang baik untuk ikut menentukan isi media yang diaksesnya.

 Apa yang harus dilakukan?
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut:
Ø      Pertama, membangun masyarakat yang aktif dan selektif dalam memilih media dan isinya. Steward Tubbs dan Sylvia Moss memberi gambaran khalayak aktif adalah khalayak yang mengontrol apa yang didengarkan,  saksikan atau baca. Selain itu juga membeli surat kabar pilihan, memilih suatu acara televisi dari sekian banyak acara televisi yang tersedia. Bila menemui acara yang tidak disukai, akan mematikan pesawat televisi.
Ø      Kedua, membangun kepedulian masyarakat untuk mau menyampaikan suara dan pendapatnya berkaitan dengan isi media. Penggalangan kekuatan massa harus dilakukan untuk dapat melakukan kontrol terhadap media. Memang salah satu fungsi media adalah melakukan pengawasan sosial (social contro)l, namun sesungguhnya masyarakat pun dapat melakukan hal yang sama, yaitu melakukan pengawasan terhadap media.
Ø      Ketiga, menyalurkan aspirasi, gagasan, kritik mapun apresiasi terhadap media melalui lembaga-lembaga terkait. Tentu sangat disayangkan bila masyarakat melakukan penyerbuan ke kantor media massa. Tindakan tersebut justru akan merugikan masyarakat, karena media tidak akan tumbuh dengan baik dengan misi membangun masyarakat. Serbuan semacam itu akan mengancam kepentingan masyarakat untuk memperoleh informasi yang akurat.


**********

[1] Disajikan dalam Seminar dan Raker Fatayat NU Jawa Tengah di Semarang,
      Minggu tanggal 19 Juni 2005.

[2] Liliek Budiastuti Wiratmo, Koordinator Bidang P3-SPS Komisi Penyiaran
      Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM)
      Semarang.


0 comments:

Post a Comment